Dikotomi Kendali.

Setahun yang lalu, saya membaca buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring, sebuah buku pengantar filsafat Yunani, Stoisisme.

Sebenarnya, ada beberapa konsep Stoisisme yang dibahas di dalam buku ini, salah satunya "Dikotomi Kendali"—dichotomy of control. Saya sering mendengar istilah tersebut sebelumnya, lewat medsos, tetapi saat itu saya hanya membaca sekilas dan melewatkannya. Dan akhirnya, saya berkesempatan mengenalnya lebih dalam saat membaca bab keempat buku karya Kak Henry Manampiring yang satu ini.

Dikotomi kendali itu apa? Singkatnya, dikotomi kendali adalah konsep yang memisahkan dua jenis hal dalam hidup: hal-hal yang bisa dan yang tidak bisa dikendalikan. Misalnya, respons kita atas penilaian orang lain merupakan hal yang bisa dikendalikan, sedangkan penilaian orang lain tentang kita adalah hal yang tidak bisa dikendalikan.

Selesai membaca buku tersebut, saya mencoba untuk mempraktikkan dikotomi kendali di dalam keseharian saya. Baik ketika konflik eksternal maupun internal (demotivasi belajar, overthinking, dsb.), saya cepat-cepat mengajak pikiran saya untuk "berdikotomi kendali". Puji Tuhan, saya dapat "benefit instan" yang benar-benar sesuai dengan subjudul dari buku ini, Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Mental Tangguh Masa Kini.

Saya sedikit menyesali keputusan saya dahulu yang memilih mengabaikan konten di medsos tentang dikotomi kendali. Bahkan saya sempat berandai, "kayaknya kalau aku sudah baca filosofi teras dari awal, mungkin aku ga bakal sejatuh kemarin, ya?" dan "eh, kalau dari kecil aku diajari tentang konsep ini gimana jadinya, ya?"

Karena saya merasakan manfaat terhadap mental saya, saya pikir sepertinya dikotomi kendali ini perlu dikenalkan ke generasi berikutnya, deh, biar ga kayak Generasi Z (termasuk saya) yang katanya rentan kena mental, wkwk.

Sebelumnya, saya sering memikirkan sebuah konflik yang sedang saya hadapi secara berlebihan. Hal ini biasanya memperburuk suasana hati, bahkan membuat orang lain yang nggak bersalah malah kena imbasnya, wkwk. Akan tetapi, setelah mengenal dikotomi kendali, saya bisa memisahkan (memberi label) masalah-masalah tersebut berdasarkan urgensi dan seberapa besar kendali saya atasnya. Saya memberi nama dikotomi kendali versi saya sendiri, yaitu "Mindset Yaudah, Sih" untuk memudahkan saya mengingatnya di saat-saat yang sulit ke depannya.

Bro X: Sadrakh, tadi si Y bocorin masalah kamu yang … ke teman-teman tongkrongan. Gimana tuh, Sad?

Saya: Oh, iyakah? Kalau aku marah ke Y kayaknya ngga bakal mengubah apa-apa deh. Yaudah lah, biarin aja, Bro. Masalah yang kemarin udah selesai juga, kok.

"Ehh, berarti konsep ini ngajak kita buat cuek gitu aja kalau ada masalah?"

Awalnya, saya sempat berpikir seperti itu saat sekilas membaca dikotomi kendali di artikel internet. Namun, hal tersebut sudah di-pre-emptive di buku ini, salah satunya dengan prinsip S-T-A-R (Stop, Thinking, Asses, dan Respond). Untuk lebih jelasnya, seperti para pembaca Filosofi Teras yang lain, saya sangat merekomendasikan buku ini untuk dibaca teman-teman sekalian secara langsung.

Ini adalah tulisan ketiga saya di Quora. Saya sangat senang terhadap kritik dan saran atas tulisan saya, terutama di bagian tata bahasa—karena saya sedang belajar tata bahasa yang benar.

Comments (0)

Subscribe Here

Popular Posts