Dampak Buruk Didikan Keras dan Toxic Masculinity pada Anak Laki-Laki
Banyak anak laki-laki di Indonesia tumbuh dengan pola asuh yang menekankan kekerasan emosional maupun fisik, dengan dalih untuk “memperkuat mental.” Bentuknya sering berupa invalidasi perasaan, seperti melarang anak menangis, meremehkan rasa takut, atau menuntut agar selalu terlihat kuat.
Padahal, pola asuh seperti ini merupakan bentuk toxic masculinity. Anak laki-laki yang terus-menerus ditekan untuk menekan emosinya hanya akan tumbuh menjadi pribadi yang:
-
Nirempati: sulit memahami perasaan orang lain karena emosinya sendiri tak pernah dihargai.
-
Mati rasa: terbiasa mengabaikan rasa sakit atau kesedihan hingga kehilangan kepekaan terhadap dirinya sendiri.
-
Rapuh di dalam: terlihat kuat di luar, tapi sebenarnya tidak punya keterampilan mengelola emosi.
Akibatnya, tidak mengherankan bila angka bunuh diri maupun tindak kejahatan lebih banyak dilakukan oleh laki-laki. Salah satu faktor pemicunya adalah minimnya kemampuan manajemen emosi serta kurangnya empati, yang berawal dari pola asuh keliru sejak kecil.
Seharusnya, anak laki-laki diajarkan mengelola emosi secara sehat:
-
Mengenali perasaan (marah, sedih, takut) tanpa malu mengakuinya.
-
Mengekspresikan emosi dengan cara yang tepat, bukan ditekan atau dilampiaskan dengan kekerasan.
-
Memupuk empati agar lebih peka pada diri sendiri maupun orang lain.
Dengan begitu, laki-laki bisa tumbuh menjadi pribadi yang benar-benar kuat—bukan sekadar “topeng kekuatan” yang rapuh di dalam.


Comments (0)