Dunia pendidikan di Indonesia, terutama yang dikelola oleh pemerintah, pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan institusi-institusi negara lainnya, seperti pegawai negeri sipil dan aparatur bersenjata. Jika institusi negara lain mulai berbenah diri, saya optimis dunia pendidikan juga akan terpengaruh dan ikut mengalami perbaikan. Kita semua sepakat bahwa akar dari banyak masalah di Indonesia adalah korupsi. Hampir semua persoalan dapat ditelusuri kembali ke korupsi, seperti halnya ketika kita menggali ilmu pengetahuan hingga akhirnya bermuara pada filsafat. Korupsi adalah akar dari persoalan sistemik, fondasi, dan pemicu dari berbagai permasalahan yang kita hadapi di negeri ini. Ambil contoh kemiskinan. Kemiskinan itu memiliki berbagai dimensi: struktural, absolut, relatif, generasional, situasional, urban, rural, kronis, berdasarkan pendapatan, kemampuan, dan bahkan kemiskinan musiman. Variasinya sangatlah beragam. Di Indonesia, kemiskinan struktural jelas disebabkan oleh kesenjangan sistemik yang amat tinggi. Siapa yang melanggengkan kesenjangan ini? Jawabannya adalah kolusi dan nepotisme antara para taipan superkaya dengan pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pada masa Orde Baru, pemerintah memberikan banyak konsesi kepada kaum taipan tanpa regulasi ketat. Kini, para taipan tersebut telah berkembang menjadi "crazy rich" dengan kekayaan yang terus menumpuk. Pemerintah saat ini tidak banyak memiliki ruang gerak selain melanjutkan agenda pembangunan yang telah ada sejak era tersebut. Contoh lain adalah kemiskinan urban. Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya kontrol terhadap urbanisasi, minimnya pengembangan layanan publik, korupsi dalam pengelolaan anggaran pembangunan, serta praktik sewa-menyewa lahan oleh pihak-pihak yang tidak memiliki hak atas tanah tersebut. Misalnya, kasus penyewaan lahan oleh pejabat Kereta Api di masa lalu yang memperparah urbanisasi tak terkontrol. Dan tentu saja, aktivitas penyewaan semacam itu merupakan bentuk korupsi pula. Kemudian kita bisa beralih dari kemiskinan ke isu kebodohan. Mengapa banyak orang Indonesia dianggap kurang berpengetahuan? Salah satu alasannya adalah mentalitas korup yang sudah merasuk ke berbagai aspek kehidupan. Contoh sederhana adalah kecenderungan untuk bolos kerja atau kelas, menyontek saat ujian atau mengerjakan PR, atau melanggar aturan seperti datang terlambat tanpa hukuman lalu memanjat pagar sekolah. Semua ini merupakan bentuk pembodohan diri sendiri sekaligus wujud dari mental korupsi. Orang-orang yang terbiasa melakukan hal seperti ini sejatinya telah membangun karakter calon koruptor, baik dalam skala kecil maupun besar. Koruptor tingkat kecil adalah mereka yang mencari jalan pintas dengan memanfaatkan akses yang tersedia; sementara koruptor tingkat besar adalah mereka yang tamak dan memanfaatkan akses secara masif. Ketika akses diberikan terlalu mudah kepada masyarakat umum tanpa kontrol ketat, maka potensi untuk korupsi hampir pasti terjadi. Budaya korupsi di Indonesia pun sebenarnya memiliki akar sejarah yang panjang, bahkan sejak era kolonial. Ambil contoh De Grote Postweg (Jalan Raya Pos) yang dibangun semasa pemerintahan Herman Willem Daendels. Daendels dikenal sebagai seorang tokoh anti-korupsi yang setia kepada Napoleon Bonaparte. Filosofi Napoleon tentang kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan tentu bertentangan dengan konsep perbudakan. Namun, buku sejarah kita justru menyebut bahwa Daendels menerapkan kerja rodi saat pembangunan jalan ini. Padahal banyak bukti menunjukkan bahwa anggaran proyek tersebut dialokasikan untuk menciptakan infrastruktur ekonomi modern yang juga bertujuan untuk memperbaiki kesejahteraan kaum pribumi. Pada fase awal pembangunan Jalan Raya Pos—khususnya daerah yang masih dekat dengan Jakarta—dana untuk proyek ini masih cair sesuai peruntukan, bahkan diberikan tunjangan berupa bantuan beras kepada pekerja. Namun, kasus korupsi mulai muncul ketika jalur proyek semakin jauh dari ibu kota dan uangnya disalurkan melalui residen ke bupati di daerah-daerah. Di kawasan Pantura misalnya, ketimpangan dalam penyaluran dan pengawasan anggaran mulai terlihat jelas. Daendels juga memiliki visi modern lainnya. Dia merencanakan pemindahan ibu kota Hindia Belanda dari Batavia karena dinilai tidak cocok secara geografis untuk menjadi pusat pemerintahan permanen. Berbagai faktor seperti ketinggian tanah rendah, iklim tropis yang menantang, hingga risiko serangan amfibi membuat Batavia lebih tepat difungsikan sebagai kota transit. Alternatif yang dirancang Daendels termasuk Surabaya atau kawasan


Salah satu kebijakan reformasi birokrasi yang diterapkan oleh Herman Willem Daendels di era kolonial Hindia Belanda adalah menuntut para bupati agar mengadopsi seragam Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang telah ia ubah menjadi bergaya militeristik. Para bupati, yang berasal dari kalangan aristokrasi dengan otonomi relatif dalam struktur kekuasaan Belanda, merasa terancam. Kebijakan ini membuat rakyat mereka dapat dengan jelas melihat bahwa mereka adalah kolaborator pemerintahan kolonial. Kekhawatiran semacam ini dianggap hipokrit karena fakta bahwa mereka memperkuat posisi Belanda sudah tidak bisa disangkal. Apabila memiliki prinsip, seharusnya mereka memilih jalan perjuangan seperti Pangeran Diponegoro, bukan sekadar menjadi bawahan dalam struktur kolonial. Masuk ke dalam struktur pemerintahan sipil Hindia Belanda berarti para bupati menjadi bagian dari hierarki birokrasi. Meski diberi otonomi tertentu, mereka harus lebih disiplin dan tunduk pada sistem administratif yang berlaku. Pada masa itu, mereka sebenarnya masih bisa mempertahankan status ganda seperti model kekhususan Yogyakarta saat ini, yaitu sebagai pejabat daerah dalam pemerintahan kolonial sekaligus berperan sebagai pemimpin tradisional vassal Yogyakarta atau Surakarta. Namun, kecenderungan mereka untuk mempertahankan kekuasaan tanpa pertanggungjawaban membuat banyak dari mereka enggan masuk ke dalam struktur yang lebih tertata. Selain itu, menjadi bagian dari birokrasi resmi membatasi ruang gerak mereka dalam sistem tradisional, termasuk kemudahan bertindak semena-mena dalam peradilan atau keuangan. Dengan masuk ke sistem administrasi Daendels, mereka akan diaudit secara transparan dan rakyat memiliki akses untuk melaporkan mereka jika menyalahgunakan kewenangan. Hal ini sesuai dengan visi Daendels untuk menciptakan pemerintahan yang lebih terorganisir. Namun, upaya reformasi semacam ini sering diwarnai kontroversi, termasuk tudingan terhadap Daendels atas banyaknya pekerja rodi yang tewas dalam proyek-proyeknya. Hal ini turut berkontribusi pada keputusan Belanda untuk memanggil Daendels kembali dan memberinya tugas lain di dinas militer Napoleon. Kisah pejabat yang dijatuhkan karena berusaha melakukan perubahan sudah menjadi pola klasik sejak masa itu, jauh sebelum era modern berbicara soal keberanian "speak up." Pindah ke konteks pendidikan nasional saat ini, sebenarnya tidak ada yang benar-benar unik dibandingkan sektor lainnya. Kasus-kasus seperti pencabulan oleh tenaga pengajar, baik guru maupun dosen, masih cukup banyak terjadi di berbagai mata pelajaran atau selama interaksi akademik. Ironisnya, beberapa kasus sering dikaitkan dengan guru agama—sebuah paradoks yang menimbulkan pertanyaan besar soal moralitas mereka. Tidak hanya itu, fenomena serupa juga terjadi di departemen lain di pemerintahan, melibatkan pejabat yang seharusnya melayani rakyat tetapi justru melakukan pelanggaran serius. Penganiayaan fisik dan psikologis? Ada. Korupsi? Jangan ditanya; sudah membudaya di berbagai level. Kolusi dan nepotisme? Sangat jelas terjadi. Supervisi terhadap pelanggaran aturan pun lemah; bahkan kadang ada dorongan dari atasan sendiri untuk melanggar regulasi demi keuntungan pribadi atau golongan. Efisiensi pelayanan? Kadang blak-blakan minta uang untuk melancarkan urusan. Namun demikian, perlu diingat bahwa tidak semua pelaku di bidang pendidikan atau pemerintahan seperti itu. Masih ada individu-individu yang istiqamah menjaga integritasnya, meski seringkali karier mereka terhambat di posisi rendah. Fakta menunjukkan bahwa orang-orang jujur ini cenderung sulit naik pangkat karena sistem hierarki yang tidak mendukung integritas sebagai kriteria utama. Keberhasilan pendidikan mungkin lebih menonjol di tingkat sekolah swasta tertentu, terutama dari golongan Katolik atau etnis Tionghoa. Sekolah-sekolah ini—meski terbatas dari segi akses—tetap mampu memberikan kualitas pendidikan yang baik dan konsisten. Contoh sekolah Katolik di daerah seperti Surabaya menunjukkan bagaimana dedikasi guru terhadap pendidikan jauh lebih besar karena semangat pengabdian yayasan mereka. Banyak guru di sekolah-sekolah swasta ini bahkan enggan menjadi PNS karena tahu tantangan dan dinamika sistem negeri yang cenderung menghambat niat mereka untuk benar-benar mengajar. Namun ya, konsekuensi tetap ada: biaya mahal menjadi kendala akses luas bagi masyarakat umum. Pendidikan berkualitas memang tidak selalu mudah dikuasai tanpa investasi signifikan. Seperti pepatah Jerman berkata: Wer rastet, der rostet—siapa

Comments (0)

Subscribe Here

Popular Posts