Kemoterapi itu seperti mencoba membunuh nyamuk dengan granat. Kadang berhasil, tapi seringkali yang hancur justru rumahmu sendiri. Ia bekerja? Ya, tapi dengan biaya biologis yang membuat kematian tampak seperti opsi spa. Mulut terbakar, sel darah anjlok, usus berontak, dan libido menghilang seperti janji kampanye. Kau bisa memperpanjang hidupmu beberapa bulan, tapi seringkali hidup itu dihabiskan di ranjang rumah sakit dengan selang di mana-mana dan tatapan kasihan yang menusuk lebih tajam dari kanker itu sendiri.

Di sisi lain, membiarkan kanker berkembang tanpa perlawanan medis adalah seperti membiarkan maling tidur di ruang tamu. Awalnya tenang, lalu perlahan dia menggerogoti isi rumah. Tapi setidaknya, kamu masih bisa minum kopi di pagi hari tanpa rasa logam di lidah atau kulit mengelupas seperti ular. Ada pilihan untuk menikmati sisa waktu dengan santai, bukan dengan muntah darah.

Statistik juga tidak terlalu berpihak pada kemoterapi, terutama untuk kanker stadium lanjut. Studi dari Australia menyebut efeknya hanya signifikan di sekitar dua persen kasus dewasa. Sisanya? Menderita dalam diam, sambil dunia memuji ketabahanmu yang dipoles oleh morfin dan frustrasi. Ini bukan solusi universal, ini taruhan. Dan taruhannya adalah rasa, waktu, dan kadang akal sehat.

Kemo bukan iblis. Tapi dia juga bukan dewa penyelamat. Dia alat. Seperti pisau, tergantung tangan siapa yang memegang, dan untuk apa. Kadang kematian yang cepat lebih manusiawi daripada hidup yang diperpanjang demi grafik harapan hidup nasional. Kadang menyerah bukan kalah, tapi tahu kapan berhenti digiling mesin yang tak mengerti arti kata cukup.

Pada akhirnya, ini bukan soal siapa yang benar. Ini soal siapa yang paling siap menatap akhir. Mau mati dibakar perlahan dari dalam, atau memilih detik terakhir yang manis, es krim stroberi dan pelukan yang tak lagi jujur, tapi cukup untuk membuatmu lupa apa itu rasa sakit.

Dunia tak peduli. Tapi tubuhmu tahu. Dan kadang, tubuh lebih jujur dari doa.

Comments (0)

Subscribe Here

Popular Posts