Kurikulum itu gak penting. Serius.

Lo boleh gonta-ganti kurikulum tiap 5 tahun, tiap ganti menteri, atau tiap ganti mood DPR.
Lo boleh niru kurikulum Finlandia, Jepang, Singapura, bahkan mau Distrik Shiganshina pun terserah.
Tapi kalau karakter bangsa kita masih 
random kayak playlist TikTok jam 2 pagi, hasilnya? Nihil, bray.

Kenapa bisa gitu?

Jadi begini…

Suatu hari, di sebuah warung kopi, gue denger ibu-ibu ngomel:

"Duh, sekarang mah susah ya, kurikulumnya ganti-ganti. PJJ lah, Merdeka Belajar lah, sekarang malah gak tau anak saya belajar apa."

Terus aku tanya dengan nada lembut selembut molto:

“Bu, anak ibu kemarin liburan ngapain?”
"
Ya main hape, main apa itu? mobel lejen-lejen itu lah, sama gatau main kemana itu."

Crod, dan disitu aku sadar:

yang harus diganti itu bukan kurikulumnya. Tapi mindset lingkungannya.
Coba lo bayangin: libur dua minggu, tapi gak ada stimulasi, gak ada bacaan, gak ada diskusi, gak ada kegiatan budaya.
Wajar sih... abis liburan, IQ bocil turun ke level lemari es.

Indonesia itu, mohon maaf nih ya, punya kelainan identitas.
Pake Pancasila, teriak Bhinneka Tunggal Ika, tapi selalu minder dan pengin jadi negara lain. Sadar gak sih kalian?

“Kita harus meniru Finlandia, sistem pendidikannya luar biasa!”
“Singapura udah pake AI buat belajar, masa kita masih pake spidol Snowman?”
“Coba kita kayak Korea, guru-gurunya dihormati, gamtenk gamtenk lagi!” (ini yang ngomong bocil kecanduan webtoon)

Bro, lo tuh negara tropis, bukan negara salju.
Lo tuh ngajar anak-anak yang bangun tidur langsung nonton 
skibidi toilet tung tung sahur, bukan baca Kahlil Gibran.
Kenapa sih gak pernah ngaca dulu sebelum ngiri?


Sekarang coba lo liat sekitar:

  • Anak sekolah disuruh nyebrang sendiri di jalan raya kayak misi Survivor.
  • Di lampu merah, ada orang tua ngebut bawa anak, boncengan lima, gak pake helm.
  • Di rumah, orang tua lebih percaya "Ustadz TikTok" daripada guru kelas anaknya.

Lo masih yakin kurikulum bisa menyelamatkan pendidikan kita?

Pendidikan gak terjadi cuma di kelas, bro.
Dia terjadi di jalan, di rumah, di warung, di WhatsApp grup RT.
Dan selama lingkungan ini isinya mental bebal, tukang nyalahin pemerintah tapi males mikir,
kurikulum yang digemborkan sama kementerian itu cuma jadi file PDF, terus ente 
download, dibaca semua civitas akademik, terus ngomel bentar "ganti lagi ganti lagi brngskkkk!!", tunggu lima tahun lalu file PDF itu gak dibaca siapa-siapa lagi.

Terus kamu sadar gak sih, kalau kualitas guru kita itu rada-rada gitu? Kayak berasa kualitasnya itu setara tomat sayur gitu. Ini bukan berarti aku tidak menghormati guru. Sangat menghormati. Hanya saja jika melihat secara helicopter-view, guru itu jadi "tempat pembuangan".

Banyak guru hari ini, dulu pas jadi siswa, nilainya jelek, nyontek, males, cabut kelas, bangga jadi anak nakal.

“Saya dulu nakal loh, tapi sekarang jadi guru.”
Bangga bener.

Sementara siswa yang rajin, pintar, suka belajar — malah disuruh kerja kantoran, disuruh jadi pegawe BUMN, pegawe perusahaan aseng, perusahaan yang gedungnya mentereng di SCBD.

Kenapa? Karena jadi guru gak dianggap prestasi.
Karena guru hari ini adalah “jalur karir cadangan”.

Dan ini terjadi karena negara gak pernah serius mengangkat harkat profesi guru.
Mereka digaji seadanya, ditugasin segunung, dan disuruh tetap idealis.
Padahal idealisme itu mahal, bro. Bahkan lebih mahal dari biaya admin Shopee.

Kurikulum? Bagus kalau ada. Tapi percuma kalau:

  • Anak-anak tumbuh di lingkungan yang permisif pada pelanggaran.
  • Guru cuma jadi "profesi buangan" untuk anak-anak SMA yang bingung dan kaga punya cita-cita
  • Orang tua nyuruh anak belajar tapi di rumah nonton sinetron volume 79.
  • Pemerintah pengin pendidikan maju tapi nyiapin dana kayak bikin panggung dangdutan.

Kita butuh pendidikan yang berbasis karakter dan realita bangsa sendiri.
Yang sadar bahwa kita negara kompleks, unik, chaotic, tapi bisa maju kalau ngerti diri sendiri.

Dan kalo kita gagal ngerombak mindset bangsa ini, gak heran kalo bocil SD sekarang, 10 tahun lagi lebih pinter buka slot gacor daripada membaca yang baik dan benar.

Unpopular opinion? Mungkin.
Tapi kadang, suara sumbang adalah satu-satunya nada yang bikin kita "bangun".

So, good luck…

…and have a nice day!

Comments (0)

Subscribe Here

Popular Posts