Sebuah penelitian dilakukan pada tahun 2007 dilakukan di rumah sakit khusus kanker di Amerika. Penelitian ini menganalisa hasil operasi dari hampir 8000 pasien dari rentang 1987–2003 yang telah menjalani operasi kanker prostat.

Operasi ini dilakukan oleh kurang lebih 72 dokter bedah yang berbeda, di empat pusat medis ternama. Semua pasien menjalani prosedur yang sama: pengangkatan total prostat yang disebut prostatektomi

.

Tujuan dari operasi ini sederhana tapi sangat penting: angkat seluruh kanker sampai tuntas, tanpa menyisakan sedikit pun jaringan yang terinfeksi.

Meskipun terdengar sederhana, tapi secara teknis operasi ini rumit. Kesalahan sekecil apa pun bisa menyisakan kanker yang kemudian membuat kanker tumbuh lagi. Itulah kenapa peneliti ingin melihat satu hal: seberapa besar pengaruh pengalaman seorang dokter terhadap keberhasilan operasi ini.

Lalu bagaimana hasilnya?


Dokter dengan pengalaman melakukan operasi 10 kali memiliki tingkat kekambuhan kanker sebesar 17,9% selama 5 tahun. Sedangkan dokter yang sudah melakukan operasi 250 kali memiliki tingkat kekambuhan sebesar 10.6%

Artinya apa?

Jika Anda memiliki kanker prostast dan dioperasi oleh dokter yang lebih berpengalaman, maka kemungkinan untuk kanker itu muncul lagi kecil jika dibandingkan jika Anda dioperasi oleh dokter dengan pengalaman lebih sedikit.


Het Denken van Den Schaker adalah sebuah thesis milik psikolog dan pemain catur asal Belanda bernama Adriaan de Groot.

Tapi tentang apa penelitiannya?

De Groot penasaran, apa yang membedakan seorang pemain catur grand master dengan pemain catur biasa? Apakah mereka lebih pintar? Apakah mereka menghitung lebih cepat? Atau ada sesuatu yang lain?

Untuk mencari jawabannya, De Groot melakukan eksperimen sederhana tapi brilian. Ia memperlihatkan posisi catur dari pertandingan nyata kepada sekelompok pemain—mulai dari pemula hingga grandmaster—selama beberapa detik saja. Setelah itu, papan dihilangkan, dan mereka diminta untuk mengingat dan menyusun ulang posisi bidak catur tersebut.

Hasilnya mengejutkan.

Para grandmaster bisa mengingat dan menyusun ulang posisi bidak dengan akurat, bahkan nyaris sempurna. Sedangkan pemain pemula? Kacau balau. Banyak bidak yang salah posisi.

Tapi ada kejutan lain.

Ketika posisi bidak disusun secara acak, tidak menunjuka sebuah pola yang ada dalam permainan catur, kemampuan para grandmaster langsung turun drastis. Mereka melakukan banyak kesalahan sebagaimana pemain pemula.

Apa artinya?

Para master tidak memiliki ingatan super. Mereka tidak menghafal satu per satu posisi bidak. Tapi mereka melihat pola.

Mereka mengenali susunan yang sering mereka lihat dalam permainan catur, seperti “Oh, ini formasi pertahanan Raja” atau “Ini pembukaan yang sering aku lihat.” Otak mereka tidak bekerja secara acak, tapi berdasarkan pengalaman ribuan jam melihat dan bermain posisi serupa.


Jika Anda ingin menjadi seorang pengacara, maka wajib hukumnya Anda kuliah hukum. Dari kuliah ini Anda akan mendapatkan pengetahuan yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pengacara.
Pengetahuan ini kemudian menjadi fondasi: Anda tahu hukum apa yang berlaku, bagaimana prosedur berjalan, dan apa saja hak serta kewajiban klien Anda.

Tapi, apakah itu cukup?

Sebuah survei besar-besaran yang dilakukan oleh Institute for the Advancement of the American Legal System (IAALS) melibatkan lebih dari 24.000 pengacara di Amerika Serikat, dan hasilnya cukup mengejutkan.

Dalam survei ini, para pengacara senior yang juga menjadi employer (pemberi kerja) diminta untuk menilai hal apa yang paling mereka perhatikan saat merekrut pengacara baru. Hasilnya? Bukan peringkat kelas. Bukan juga universitas tempat si kandidat belajar.

Yang mereka nilai paling tinggi adalah hal-hal seperti:

  • Pengalaman kerja hukum sebelumnya
  • Rekomendasi dari praktisi senior atau hakim
  • Keikutsertaan dalam program magang dan klinik hukum saat kuliah

Dengan kata lain, yang dicari adalah pengalaman langsung. Bukan hanya tahu hukum, tapi pernah menegakkan hukum.

Temuan ini memperkuat satu hal penting:

Pengetahuan penting, tapi pengalaman yang mengasah kita.

Sebagus apapun nilai kuliah seorang mahasiswa hukum, jika dia belum pernah duduk berjam-jam mendengarkan klien, menyusun argumen hukum, atau mengisi gugatan yang benar sesuai prosedur, maka mahasiswa tersebut masih pemula.

Lihat lagi kasus dokter yang mengoperasi kanker prostat diatas. Dokter yang memiliki lebih banyak pengalaman mengoperasi lebih banyak mampu menekan tingkat kekambuhan kanker prostat hingga 10% dimana dokter dengan pengalaman operasi lebih sedikit memiliki tingkat kekambuhan hampir 18%!

Lihat lagi penelitian tentang pemain catur.

Grandmaster tidak menghafal posisi satu per satu seperti robot. Mereka mengenali pola. Mereka bisa "membaca" papan catur karena mereka pernah berada di situasi serupa ribuan kali.

Apa kesamaan dari tiga cerita ini—dokter bedah, grandmaster catur, dan pengacara?

Jawabannya satu: pengalaman menciptakan pola. Pola menciptakan intuisi. Dan intuisi inilah yang membuat para ahli terlihat seperti punya “insting” atau “bakat alami”—padahal itu adalah hasil dari ribuan jam di lapangan.

Jadi lebih penting mana pengetahuan atau pengalaman?

Pengalaman. Tapi bukan berarti pengetahuan tidak penting. Pengetahuan adalah pondasi. Pengetahuan adalah peta dalam sebuah perjalanan. Sebelum memulai perjalanan ke suatu tempat yang kita tidak ketahui, kita butuh peta.

Tapi pengalaman adalah saat kita benar-benar menapaki jalan dalam peta tersebut. Pengalaman adalah saat kita tersesat di gang sempit, memutar balik di jalan yang ditutup atau menemukan jalan pintas yang tidak ada di peta yang hanya diketahui warga lokal.

Ini adalah perbedaan pengalaman dan pengetahuan. Pengetahuan menjelaskan dunia tapi pengalaman membentuk kita di dalam dunia tersebut.

Catatan Kaki

Comments (0)

Subscribe Here

Popular Posts