Kualitas Guru Lemah, Pembelajaran Hafalan: Keresahan Seorang Alumni SMA
“Mengapa saya belajar 12 tahun tapi tidak tahu cara berpikir kritis?”
Pertanyaan ini muncul di kepala saya setelah lulus dari SMA. Setelah duduk selama ribuan jam di kelas, membaca ratusan halaman buku pelajaran, dan mengerjakan ribuan soal ujian — saya baru sadar: sebagian besar waktu itu saya hanya menghafal, bukan memahami.
Dan saat saya dihadapkan dengan soal HOTS (Higher Order Thinking Skills) yang membutuhkan nalar, logika, dan analisis, saya bingung. Bukan karena saya malas belajar, tapi karena saya tidak pernah diajarkan cara berpikir kritis sejak awal.
Masalahnya Bukan di Siswa Saja. Mungkin Gurunya Juga Tidak Pernah Diajari.
Ini bukan sepenuhnya salah guru. Saya percaya banyak guru ingin mengajar dengan baik. Tapi mungkin, sistem yang membentuk mereka memang belum mendukung lahirnya guru-guru berkualitas.
Bagaimana bisa kita mengharapkan siswa berpikir kritis, jika gurunya tidak pernah dilatih untuk berpikir kritis? Bagaimana guru bisa membimbing dengan logika, kalau mereka sendiri belum diberi bekal pedagogi konseptual yang kuat?
Solusi: Reformasi Total Sistem Rekrutmen dan Evaluasi Guru
Bayangkan jika sistem perekrutan guru dibuat seketat dan seprofesional BUMN. Guru calon guru harus:
-
Mengikuti tes bidang keilmuan sesuai jurusan (guru matematika diuji logika dan aplikasinya),
-
Menunjukkan kemampuan mengajar, bukan hanya nilai akademik,
-
Lalu, jika lolos, mereka digaji layak, minimal setara UMR atau standar ASN,
-
Dan setelah itu, dilakukan evaluasi berkala tiap semester, bukan untuk menghukum, tapi untuk pembinaan — lewat observasi, umpan balik siswa, dan portofolio.
Ini penting karena mutu pendidikan tidak akan pernah lebih tinggi dari mutu gurunya.
Mengapa Ini Penting untuk Masa Depan Indonesia
Jika kita ingin generasi Indonesia bisa bersaing secara global, berpikir kritis, kreatif, dan solutif — kuncinya ada di kualitas guru.
Saya memang belum kuliah. Tapi saya pernah jadi siswa. Saya tahu rasanya duduk berjam-jam mendengarkan guru mengulang buku teks. Saya tahu rasanya belajar hanya untuk ujian, bukan untuk hidup. Saya tahu rasanya gagal paham karena tidak diajarkan cara memahami.
Harapan saya sederhana: semoga generasi setelah saya bisa merasakan pendidikan yang benar-benar mendidik. Bukan hanya menghafal, tapi memahami dan berpikir.


Comments (0)